🎈 Kata Kata Lafran Pane
Anakitu bernama Lafran Pane. Lafran Pane lahir dan menangis pertama kali pada 5 Februari 1922. Terlahir sebagai anak bungsu dari keluarga yang terpandang dan taat agama, tak menjadikan Lafran Pane kecil menjadi anak yang penurut, tapi terkenal nakal tapi juga cerdas. Ia tumbuh menjadi piatu, sang ibu meninggal setelah 2 tahun kelahirannya.
MengenaiLafran Pane Sujoko Prasodjo dalam sebuah artikelnya di majalah Media nomor : 7 Thn. III. Rajab 1376 H/ Februari 1957, menuliskan :" Sesungguhnya, tahun-tahun permulaan riwayat HMI adalah hampir identik dengan sebagian kehidupan Lafran Pane sendiri. Karena dialah yang punya andil terbanyak pada mula kelahiran HMI, kalau tidak boleh kita
KATA-KATA HIKMAH" MAKAM PUTRI FIRAUN DITEMUKAN DI SELATAN KAIRO, MESIR Makam yang merupakan tempat peristirahatan terakhir putri Firaun, yang diperkirakan berusia 4.500 tahun di bagian selatan Kairo
LafranPane adalah salah satu tokoh yang berpengaruh dalam pergerakan di Indonesia, karena beliau adalah pendiri organisasi mahasiswa terbesar di Indonesia yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Lafran Pane dilahirkan di Sipirok-Tapanuli Selatan, Sumatera Utara pada tanggal 5 Februari 1922.
LafranPane, pendiri HMI akan dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh Presiden Jokowi, di Istana negara. "Alhamdulillah sudah ditetapkan, tetapi kita tidak terus euforia," kata Tofani. (bgs
Mahfudmengatakan, Lafran Pane layak untuk ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Jejak perjuangannya telah diuji kesahihannya di 27 kampus di Indonesia. Atas dasar itu, kata Mahfud, Lafran Pane yang mendirikan HMI pada 5 Februari 1947 di Yogjakarta, pantas ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Presiden Jokowi menyambut positif usulan tersebut.
REPUBLIKACO.ID, SLEMAN -- Pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Lafran Pane, baru saja ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo. Sosok pendiam yang memiliki andil dalam Proklamasi itu pun meninggalkan kesan tersendiri di mata sahabat.'Dia teladan yang tidak mau menonjolkan diri,' kata salah satu tokoh nasional, Buya Syafii Maarif, saat ditemui di Refleksi Kepahlawanan
UsulanKAHMI Koordinator Presidium Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Mahfud MD mengatakan, pihaknya sudah sejak lama mengusulkan kepada Presiden atau tepatnya sejak dua tahun lalu agar pendiri HMI tersebut diangkat menjadi pahlawan nasional. Ia mengatakan, jejak perjuangan Pane yang berperan aktif dalam HMI khususnya ketika Kongres XI HMI pada 1974 di Bogor []
kataLafran kala itu. Lafran Pane mendirikan HMI bersama 14 orang mahasiswa STI lainnya, tanpa campur tangan pihak luar. Baca Juga: Sosok dan Jejak Muhammad Zainuddin Abdul Madjid: Ulama Kharismatik NTB, Pendiri Nahdlatul Wathan. Pada awal pembentukkannya HMI bertujuan di antaranya antara lain:
Menariknya kata Asvi, belum ada adik-kakak yang menjadi pahlawan nasional. Sebelumnya adik kandung Sanusi Pane, Lafran Pane diangkat menjadi pahlawan nasional. Usulan diajukan dari Yogyakarta 2017.Lafran Pane merupakan pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Sedangkan Sanusi Pane bergiat di bidang bahasa dan sastra.
KataSyahrul, pemberian nama Lafran Pane untuk perpustakaan daerah itu untuk mengenang jasanya sebagai pahlawan yang juga pendiri organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Menurutnya, Lafran Pane sudah banyak berjasa terhadap bangsa Indonesia, sehingga layak mendapatkan gelar pahlawan nasional.
LafranPane hari ini dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh presiden. Sampai saat ini membekas di kader-kader,"kata Sekretaris HMI Cabang Yogyakarta Muhamad Ashar SF di makam Lafran Pane di
8yWqr. - Hampir seluruh kader Himpunan Mahasiswa Islam HMI mengenal kisah ini. Sebuah peristiwa yang terjadi pada 5 Februari 1947. Lafran Pane, ketika itu mahasiswa Sekolah Tinggi Islam STI, sekarang UII, meminta izin kepada Husein Yahya, dosen pengajar Kuliah Tafsir, untuk menggunakan jam pelajarannya sebagai rapat mahasiswa. Yogyakarta masih menjadi ibu kota Republik. Rapat yang dimulai pada pukul di Gedung STI, Jl. Pangeran Senopati 30 itu kemudian diputuskan sebagai peristiwa lahirnya HMI dan Lafran Pane dinisbatkan sebagai pendirinya. Selain Lafran, seturut catatan Agussalim Sitompul dalam Sejarah Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam 1947-1975 2002, pendiri HMI adalah 14 mahasiswa lain yang mengikuti rapat itu memang tonggak awal bagi sejarah HMI, namun gagasan dan semangat yang melatarinya telah lama bersemayam dalam pikiran Lafran Pane. Sujoko Prasodjo, dalam salah satu tulisannya di Majalah Media Februari 1957, bahkan menyebut tahun-tahun permulaan riwayat HMI hampir identik dengan sebagian kehidupan Lafran Pane. Sujoko memandang Lafran memiliki andil terbanyak pada mula kelahiran pikiran Lafran dapat ditelisik dari tujuan HMI yang ia rumuskan dan kemudian disepakati peserta rapat 5 Februari itu, yakni “Mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia, serta menegakkan dan mengembangkan ajaran Agama Islam.”Dalam Intelektual Muslim dan Kuasa Geneologi Inteligensia Muslim Abad Ke-20 2002, Yudi Latif menilai tujuan HMI rumusan Lafran mengandung gagasan istimewa. Rumusan tersebut mengetengahkan dialektika gagasan kebangsaan dan keislaman yang serius—sebuah wacana panjang muslim Indonesia pada paruh pertama abad ke-20. Gagasan ini mulai didengungkan oleh Tjokroaminoto, dimatangkan secara politik oleh M. Natsir, dan dibawa ke ranah kehidupan intelektual oleh Lafran Pane. HMI kemudian menjadi ruang dialektika keislaman dan kebangsaan yang legendaris. Nurcholish Madjid, Ahmad Wahib, Endang Saifuddin Anshari, Imaduddin Abdurahman, Yusril Ihza Mahendra, Jimly Ashshidique, dan puluhan pemikir lainnya lahir dari organisasi ini. Gagasan kebangsaan dan keislaman yang tumbuh di HMI juga telah memengaruhi perjalanan Indonesia modern baik secara intelektual maupun politik. Modernisme Islam & Keindonesiaan Ikhtiar Lafran Pane dalam menyelaraskan gagasan kebangsaan dan keislaman dapat ditelusuri dari keluarga dan pengembaraan intelektualnya. Kedua abang Lafran masyhur sebagai tokoh penting dalam perkembangan sastra Indonesia modern, yaitu Armijn dan Sanusi Pane. Ayahnya, Sutan Pangurabaan Pane, ialah salah satu pendiri Muhammadiyah di Sipirok. Sementara Sang Kakek, Syekh Badurrahman Pane, adalah ulama di Tapanuli Selatan. Di masa kanak-kanak Lafran belajar menyanyikan "sifat 20", puji-pujian yang berisi dua puluh sifat Allah, bersama kawan-kawannya. Pendidikan keagamaan Lafran kecil telah menunjukkan pergolakan paham antara golongan tua dan golongan muda, meski Lafran kemudian menjadi anak tulen modernisme Islam. Dosen-dosennya di STI memang banyak berasal dari kalangan modernis. Dua nama yang dapat disebut ialah Abdul Kahar Muzakar dan Rasjidi. Karena itu kerangka pikiran Lafran dalam menafsirkan kebangsaan dan keindonesiaan bersemangatkan modernisme Islam, yang kerap minus dari nilai tasawuf dan kalam Asy'ariah. Dari berbagai catatan yang dikumpulkan Agussalim Sitompul, dapat terlihat bahwa Lafran benar-benar mencitakan HMI sebagai wajah Islam yang mampu bergelut dengan tantangan zaman, khususnya di dunia mahasiswa. Dan pada abad ke-20 kemodernan itu menjelma dalam wajah negara Indonesia. Islam ia pandang sesuai dengan semangat modern, sekaligus menjadi pengobat dari penyakit-penyakit yang ditimbulkan oleh modernitas seperti kekeringan rohaniah masyarakat. Ruang dialektika yang dibangun Lafran kemudian bergumul secara liat dalam perjalanan bangsa dan HMI mengarunginya hampir sepanjang sejarah Indonesia. Di antara dua orde, HMI melewati ngerinya peristiwa 1965 dan selamat dari huru-hara 1998. Lafran Pane turut menyaksikan dan bahkan terlibat dalam dinamika itu hampir seumur hidup dewasanya. Ia melihat Indonesia yang ia tafsirkan sejak sebelum mendirikan HMI bergolak atau tenang secara silih berganti. Tak seperti alumni HMI lain yang kerap bergelimang jabatan dan jaringan, Lafran Pane amat setia dengan kebersahajaan. Hingga masa akhir baktinya di IKIP Yogyakarta, tempat ia dinobatkan sebagai Guru Besar Ilmu Tata Negara pada 1970, Lafran tetap setia mengayuh sepeda onthel ketika pergi mengajar. Sampai akhir hayat ia bahkan tak pernah memiliki mobil. Lafran memang lebih setia kepada idealisme sebagai pengajar daripada mengejar posisi politik. Jabatan politik tertinggi yang pernah ia peroleh “hanya” menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung DPA periode 1988-1993 yang tidak pernah ia tuntaskan. Itu pun, menurut kesaksian Akbar Tandjung, Lafran merasa mendapatkan gaji yang terlalu besar dari DPA. Lukman Hakiem, salah satu junior Lafran di IKIP dan HMI Cabang Yogyakarta, menulis kesaksian dalam "Lafran Pane Pahlawan Nasional, Mengapa Tidak?" yang dimuat di buku 50 Tahun HMI Mengayuh di Antara Cita dan Kritik 1997 tentang kebersahajaan seniornya itu “Saya bersaksi bahwa Lafran Pane tidak pernah memanfaatkan posisinya sebagai pemrakarsa berdirinya HMI untuk kepentingan pribadi, walaupun alumni HMI sudah amat banyak yang duduk di posisi strategis di jajaran pemerintahan. Saya juga berani menegaskan, bahwa segala pikiran dan gagasan Lafran Pane, entah itu menguntungkan pemerintah atau tidak, murni keluar dari hati nurani dan akal sehatnya." Infografik Mozaik Himpunan Mahasiswa Islam. Sebuah Rahasia Tiga bulan menjelang meninggal, Lafran menulis di Jawa Pos edisi 18 September 1990. Tulisan tersebut diberi judul “Menggugat Eksistensi HMI”. Artikel terakhir Lafran ini mengingatkan kembali tujuan awal didirikannya HMI pada 5 Februari 1947. Boleh jadi artikel ini dikhususkan kepada kader dan alumni HMI yang ketika itu tengah dilanda perpecahan antara HMI Dipo dan MPO—semacam wasiat untuk memegang teguh dan terus menafsirkan Indonesia dengan semangat kebangsaan dan Pane meninggal pada 25 Januari 1991, tepat hari ini 30 tahun lalu, dalam kesederhanaan serta kebersahajaan yang luas dan dalam. Beberapa saat sebelum jenazah Lafran dimakamkan, Tetty Sari Rakhmiati putri bungsu didampingi M. Iqbal putra dan Martha Dewi istri, membuka sebuah rahasia. Kesaksian ini disaksikan oleh Akbar Tanjung dan beberapa saksi lainnya serta dimuat dalam buku Agussalim Sitompul Menyatu dengan Umat, Menyatu dengan Bangsa Pemikiran Keislaman-Keindonesiaan HMI 1947-1997 2002.Sebenarnya Lafran Pane dilahirkan di Padangsidempuan pada 5 Februari 1922. Bila selama ini ia menyatakan lahir pada 12 April 1923 termasuk secara administratif, hal itu semata-mata dilakukan untuk menghindari pengidentikan HMI dengan dirinya. Sebab hari lahirnya bertepatan dengan hari lahir HMI. Lafran tak ingin HMI identik dengan siapapun.==========Shubhi Abdillah adalah penulis yang pernah kuliah di Program Studi Sastra Indonesia FIB UI serta menjadi Ketua Komisariat HMI di fakultasnya. Ia turut mendirikan Komunitas Nuun sebagai wadah bertukar gagasan mengenai wacana keislaman dan kebudayaan. - Humaniora Penulis Shubhi AbdillahEditor Ivan Aulia Ahsan
Accueil Tous les mots Débutant par Terminant par Contenant AB Contenant A & B En positionListe des mots finissant par Cliquez pour choisir la deuxième avant-dernière lettreCliquez pour enlever la deuxième avant-dernière lettreCliquez pour changer la taille des motsTous alphabétique Tous par taille 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11Il y a 79 mots finissant par KAAIKIDOKA BABOUCHKA BALALAIKA BARAKA BAZOOKA BEERAWECKA BREAKA BRISKA BURKA CHAPKA CHAPSKA CHECKA CONAKRYKA DARBOUKA DEBREAKA DERBOUKA DESIMLOCKA DESTOCKA DINKA EUREKA GEEKA GWOKA HACKA HAKA HAKKA HANOUKKA HARKA HOUKA JATAKA JERKA JUDOKA KA KARATEKA KOKA LIKA MANGAKA MARKKA MATRIOCHKA MAZURKA MOKA MOUSSAKA NAGAIKA NAHAIKA NEBKA OKA OSTRAKA PANENKA PANKA PAPRIKA PARKA PASHKA PERESTROIKA PIKA POLKA QUOKKA RELOOKA SCHAPSKA SEBKA SHARKA SIFAKA SKA SNACKA STOCKA STOTINKA STUKA SURSTOCKA SVASTIKA SWASTIKA TAKA TANKA TERLENKA TONKA TREKKA TROIKA VATROUCHKA VEDIKA VODKA YAKA ZOUKAListe conforme à la huitième édition du dictionnaire officiel du la liste Liste précédente Liste suivanteVoyez cette liste pour Le Wikitionnaire francophone 451 motsLe scrabble en anglais 131 motsLe scrabble en espagnol aucun motLe scrabble en italien 42 motsLe scrabble en allemand 138 motsLe scrabble en roumain 9 mots
Sosoknya dikenal luas oleh para kader dan alumni Himpunan Mahasiswa Islam HMI di seluruh Indonesia, bahkan yang berada di mancanegara. Meski demikian, jejak pemikiran, sikap, tindakan, dan keteladanannya melampaui batas organisasi memang dia terlahir bukan semata untuk HMI, melainkan untuk Indonesia dan Islam serta untuk umat, bangsa, dan negara. Boleh dibilang ketokohannya melampaui masanya dan tempat di mana dia terlahir, tumbuh, dan hidup. Dalam diri dan perjalanan hidupnya terdapat ibrah yang sangat relevan bagi kita semua termasuk generasi milenial saat ini, yakni merdeka sejak hati, Islam sejak nurani, dan Indonesia sejak ragawi. Maka tidak berlebihan-bahkan mungkin memang menjadi sebuah keharusan-pemerintah memberikan gelar Pahlawan Nasional untuknya pada 6 November 2017. Lafran Pane, anak dari pasangan Sutan Pangurabaan dan Gonto terlahir di Sipirok, Padang Sidempuan, Sumatera Utara pada 5 Februari 1922, dan meninggal di Yogyakarta pada 25 Januari 1991. Ayah Lafran merupakan guru, wartawan, dan sastrawan sekaligus salah satu tokoh Muhammadiyah di Sipriok, bahkan pendiri sekolah dan pesantren Muhammadiyah pertama di Sipirok. Sosok Lafran Pane diulas secara lugas, mengalir, jernih, utuh, dan gamblang oleh Ahmad Fuadi dalam novel berjudul Merdeka Sejak Hati. Membaca novel ini ibaratnya kita sedang jumpa muka, pikiran, dan jiwa dengan Lafran. Fuadi membagi jalan cerita dengan 41 pembabakan. Tapi, jika dirangkum, boleh disebut ada enam lokasi kunci pembabakan, yakni Sipirok, Medan, Batavia Jakarta, Yogyakarta, Malang, dan kehidupan Lafran yang dimulai sejak kecil dalam keluarga terpatri dengan lima hal, yakni buku, pergerakan untuk kemerdekaan, Islam, empati terhadap sesama, dan pendidikan. Lintasan kehidupannya juga dipenuhi dan disertai berbagai sosok orang pergerakan di tanah kelahirannya, anak jalanan, preman, pedagang di pasar dan jalanan, sarung dan ring tinju, geng motor, ulama-guru, bahkan tokoh-tokoh penting mulai dari DN Aidit, Soekarno Bung Karno, Mohammad Hatta Bung Hatta, dan Sutan Syahrir, termasuk tentu saja dua kakak kandung Lafran, Sanusi Pane dan Armijn Pane. Juga diceritakan bagaimana Lafran bersinggungan dengan para tokoh pendidikan di Yogyakarta seperti KH Abdul Kahar Muzakkir, Husein Yahya, dan HM Rasyidi, para mahasiswa Sekolah Tinggi Islam STI Yogyakarta dan lintas kampus, para pendiri ashabul awwalun HMI, tokoh-tokoh organisasi kemahasiswaan dan pelajar, tokoh-tokoh organisasi Islam dan nasionalis, tentara dan tokoh tentara terutama Panglima Besar Jenderal Sudirman, para intelektual, dan masih banyak novel Merdeka Sejak Hati seolah kita berada di samping Lafran Pane atau boleh dibilang kita adalah bayangannya di mana saja Lafran ada dan ke mana saja pergi. Ahmad Fuadi mampu menyatukan kepingan-kepingan perjalanan hidup dan sikap; perjuangan sebelum, saat, dan sesudah proklamasi kemerdekaan; dan kecintaan Lafran terhadap rakyat umat, bangsa, negara, dan agama Islam sehingga mengha dirkan goresan sejarah dengan gaya yang unik, apik, mudah dicerna, dan bisa dijadikan contoh oleh para pembaca. Fuadi berhasil menghadirkan Lafran dan jalan hidupnya yang berliku, penuh tantangan, onak dan duri, jatuh dan bangkit kembali, kemudian berjuang memerdekakan pikiran dan jiwa rakyat Indonesia serta meninggikan agama membuat bercampur aduk segala rasa dan perasaan. Salut untuk Fuadi yang mampu mengorkestrai kata demi kata, frasa demi frasa, kalimat demi kalimat, maupun paragraf demi paragraf. Fuadi berhasil “menghidupkan kembali” Lafran Pane. Fuadi juga mampu menghadirkan Lafran sebagai pencinta kopi yang menguasai enam bahasa asing Belanda, China, Prancis, Jerman, Jepang, dan Inggris serta pengajar, pendidik, dan intelektual yang mencintai pendidikan dan ilmu pengetahuan sekaligus penyayang Merdeka Sejak Hati sangat jelas menghimpun Lafran dalam satu tarikan nafas dengan tiga kata saja, yaitu beriman, berilmu, dan beramal. Atau, dengan empat kata lain, yakni kemodernan, keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan yang cocok, berkesesuaian, seirama, dan sejalan. Dari novel ini kita pun bisa mengetahui betapa Lafran-si anak piatu-memiliki pemikiran dan tindakan dalam berbagai aspek yang hingga kini masih dan sangat relevan. Mulai dari karakter seorang pejuang dan petarung dalam menjalani kehidupan. Bicara tentang nilai antikorupsi Lafran, Fuadi bahkan langsung menghadirkannya di awal babak. Nilai tersebut tertuang dalam pernyataan Lafran kepada anaknya, Muhammad Iqbal Pane.“Bagiku, kedudukan itu untuk diamanahkan kepada yang lebih mampu, bukan diperebutkan bagai piala. Agar ada kemajuan, ada progres, agar harkat martabat bangsa ini naik, agar hilang kolusi dan korupsi. Kekuasaan bukan alat untuk memperkaya diri sendiri, tapi untuk memperkaya bangsa. Inilah yang menurutku kebiasaan yang benar. Bukan membenarkan yang biasa.” Tak ada gading yang tak retak. Menurut saya, ada dua catatan kecil untuk novel ini. Pertama , wajah sosok bersepeda di cover novel sepintas bukan seperti Lafran Pane. Tetapi, dari sisi semiotika komunikasi, cover novel ini mampu memperhalus kehadiran HMI dengan tiga warna hijau, hitam, dan putih atau boleh dibilang dua warna saja, hijau dan hitam, menunjukkan Indonesia keindonesiaan lewat warna merah dan putih, dan menghadirkan nuansa kesederhanaan Lafran dengan sepeda , novel ini tidak terlalu mengeksplor tentang persentuhan dan perdebatan pemikiran secara mendalam antara Lafran dengan DN Aidit yang sama-sama teman satu kelas di Taman Siswa Taman Dewasa Raya Batavia dan teman satu organisasi di Gerakan Rakyat Indonesia. Selain itu, persentuhan Lafran dengan Bung Karno, Bung Hatta, dan Sutan Syahrir disinggung sekadar saja. Dari sudut pandang berbeda, bagi saya, novel karya Ahmad Fuadi ini berpadu sempurna dengan buku biografi berjudul Lafran Pane Jejak dan Pemikirannya 2010 karya Hariqo Wibawa Satria. Fuadi dan Hariqo, dua alumni Pondok Modern Gontor, Ponorogo, patut mendapat kredit dan apresiasi lebih atas upaya mereka menghadirkan sosok Lafran Pane. Apalagi, karya keduanya berbasis pada riset yang utuh, menyeluruh, dan mendalam. Sekali lagi, kehadiran novel Merdeka Sejak Hati kembali menegaskan bahwa Lafran Pane bukan semata milik HMI, tapi milik Indonesia dan seluruh rakyat Indonesia. Begitu pun HMI. HMI bukan semata milik HMI, kader, dan alumninya, tapi milik Indonesia dan seluruh rakyat Indonesia. Karenanya, novel ini layak dibaca oleh siapa pun, apa pun latar belakang sosial, keagamaan, dan pekerjaan, maupun kalangan anak-anak, remaja, pemuda, hingga orang tua. Bagaimanapun, Lafran Pane dan keteladanannya layak tetap hidup dalam hati, pikiran, dan jiwa putra-putri Bumi Pertiwi Indonesia dan umat Islam di Indonesia. Sebagaimana Hadits “Jika keturunan Adam seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara, yaitu sedekah jariah, atau ilmu pengetahuan yang dimanfaatkan, atau doa anak yang saleh.”Hadits Riwayat Muslim. Ya, si Beliung yang kemudian menjadi guru besar ilmu tata negara itu telah meninggalkan tiga perkara itu, terutama amal laluhujurnalis, penulis, dan alumnus HMI Cabang Ciputatdon
kata kata lafran pane